•18.59
Departemen Informasi dan Perpustakaan Universitas Airlangga mengadakan
"REUNI AKBAR DASAWARSA PROGRAM STUDI TEKNISI PERPUSTAKAAN dan ILMU INFORMASI & PERPUSTAKAAN"
tanggal 04 Oktober 2009
Pukul 08.00 s.d. selesai
TIDAK DIPUNGUT BIAYA ALIAS GRATIS
Dimohon untuk mengkonfirmasikan kepastian kedatangannya (DAFTAR) paling lambat 01 Oktober 2009
mengingat kami harus memperhitungkan jumlah konsumsi.
cp. Agung 081359054112
Bambang 085655489680
Febrie 085234100901
Facebook : kokochan.888@gmail.com


•01.30
PENDAHULUAN
Di era global saat ini dimana informasi membludak, profesi pustakawan terus menjadi sorotan. Memang…diharapkan profesi ini mampu mengelola banjir informasi yang berdampak luas pada masyarakat. Sebelum membicarakan era global-era Internet, dan ketrampilan pustakawan untuk menghadapinya, maka penulis sedikit menyinggung tentang persyaratan profesi. Menurut Abraham Flexner yang dikutip Wirawan (1993) profesi paling tidak harus memenuhi 5 persyaratan sbb:
(1) profesi itu merupakan pekerjaan intelektual, maksudnya menggunakan intelegensia yang bebas yang diterapkan pada problem dengan tujuan untuk memahaminya dan menguasainya;
(2) Profesi merupakan pekerjaan saintifik berdasarkan pengetahuan yang berasal dari sains;
(3) Profesi merupakan pekerjaan praktikal, artinya bukan melulu teori akademik tetapi dapat diterapkan dan dipraktekkan;
(4) Profesi terorganisasi secara sistematis. Ada standar cara melaksanakannya dan mempunyai tolok ukur hasilnya;
(5) Profesi-profesi merupakan pekerjaan altruisme yang berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya bukan kepada diri profesionalisme. Sedangkan profesionalisme menunjukkan ide, aliran, isme yang bertujuan mengembangkan profesi, agar profesi dilaksanakan oleh profesional dengan mengacu kepada norma-norma, standar dan kode etik serta memberikan layanan terbaik kepada klien.
Dari uraian di atas jelas, bahwa pustakawan adalah sebuah profesi. Dan bagaimana dengan tantangan ke depan? Dari sinilah penulis berangkat menuangkan pemikiran agar dapat memberi masukan, serum, dorongan, semangat agar profesi pustakawan dapat lebih bermanfaat dan menggigit kepada masyarakat secara luas utamanya di era global yang sarat tantangan saat ini.
2
ERA GLOBAL-ERA INTERNET
Era global telah merambah dan melanda semua orang tidak terkecuali pustakawan. Era global membuka mata hati bahwa didalam kehidupan ini kita perlu orang lain dimanapun tanpa mengenal batas. Perkembangan teknologi komunikasi dan telekomunikasi seperti Internet dapat mengubah banyak orang menjadi kosmopolitan. Picasso yang dikutip Muis (2001) mengatakan bahwa dunia telah menjadi kosmopolitan dan kita saling mempengaruhi satu sama lain.
Internet dengan muatan-muatan bisnis, pendidikan dsb, telah mampu mempengaruhi pola pikir kita semua. Ia telah mengubah kehidupan secara drastis. Ia telah mereformasi sejumlah praktek-praktek bisnis kuno. Amazon.com misalnya telah mengubah wajah industri eceran dan distribusi menjadi sedemikian revolusioner. Film Blair Watch Project menggunakan Internet sebagai media yang kreatif dan murah untuk mempromosikan film mereka. Hanya dengan bermodalkan $15.000, situs Blair Witch Project berdiri. Tak kurang dari 75 juta orang telah mengunjungi situs itu. Dan ketika diputar, film ini menghasilkan rekor penjualan tiket tak kurang dari 100 juta dolar (Kurnia, ….). Sungguh tidak terbayangkan hanya dengan memasukkan nomer credit card pada “secure server” sebuah bisnis maya barang yang diinginkan datang pada saatnya. Jadi tidak perlu lagi montang – manting ke Bank untuk membeli bank draft dan mengirimkannya. Praktis, hemat waktu, uang dan tenaga. Bukan main.
Internet sudah menjadi suatu media pilihan untuk mendapatkan informasi aktual dan faktual. Walaupun Internet bukanlah panacea, satu-satunya pilihan, namun sudah menjadi harapan utama untuk mendapatkan informasi aktual.
Tantangan ini akan semakin ramai dan kompetitif tajam dengan realisasi AFTA 2003 (Asean Free Frade Area) – perdagangan bebas antara negara Asean. Perdagangan bebas ini berarti akan terjadi antara lain :
1. Banjirnya tenaga Malaysia dsb di Indonesia, terutama untuk pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan bahasa Inggris dan ketrampilam khusus.
2. Pada lingkungan pekerjaan bahasa Inggris akan lebih dominan dibanding bahasa Indonesia.
3. Lapangan pekerjaan akan melimpah ruah bagi orang-orang yang memiliki kualifikasi dan kemampuan kerja tinggi, mampu berkomunikasi secara internasional dan mempunyai wawasan luas.
3
4. Kematian bagi orang-orang yang buta komputer atau buta bahasa Inggris. Kematian dalam arti tidak bisa berkembang. Pada saat itu buta komputer hampir identik dengan buta huruf (Mahayana, 1995).
Penggunaan Internet untuk pendidikan cukup menonjol dan cukup ampuh dalam upaya memperkini ilmu pengetahuan pada pemakainya. Pemanfaatan Internet untuk pendidikan misalnya :
1. Perpustakaan Online
2. Buku online & jurnal online
3. Pembelajaran jarak jauh (distance learning)
4. Pendaftaran kuliah online
5. Kuliah & tugas kuliah
6. dsb
Keampuhan Internet di Era global sebagai media pengaruh cukup signifikan terhadap budaya tradisional. Internet mampu menggeser budaya hidup masyarakat, misalnya : … masyarakat menjadi semakin longgar (permisif) terhadap perilaku yang untuk beberapa tahun yang lalu kurang enak dipandang kini menjadi biasa. … perilaku remaja (dan juga orang tua) yang begitu longgar terhadap pergaulan yang menjurus kepada penyimpangan norma agama (Suyono, 1999). Disamping itu era global menurut Abidin (1999) mampu :
1. Mengubah pola hidup, seperti :
a) dari agraris tradisional menjadi masyarakat industri modern
b) dari lamban ke serba cepat
c) dari berasas nilai sosial menjadi konsumeris materialistis
d) dari tata kehidupan tergantung dari alam kepada menguasai alam
2. Membawa perubahan perilaku, terutama pada generasi muda (para remaja), seperti :
a) …pergaulan a-susila di kalangan pelajar dan mahasiswa. Pornografi yang susah dibendung (Masih ingat…….. Itenas 2001)
b) kecanduan terhadap ecstasy
Perkawinan tradisional yang dulu cukup dengan jodoh satu kampung, di era global dengan bantuan Internet perkawinan dapat meretas batas bukan saja desa tapi negara. Seperti akan kawinnya Sanad Biber dari Bosnia dan Tri RK gadis dari Kediri (Sadaruwan, 2001). Memang jodoh di tangan Tuhan, tapi usaha manusia tetap
4
dibutuhkan. Perkawinan lintas negara (kesejagadan) berawal dari pemanfaatan Internet dengan fasilitas chatting dan e-mail. Sekarang telah berkembang dengan situs-situs yang menarik hati.
BAGAIMANA PUSTAKAWAN?
Menghadapi riuh rendah dan carut-marutnya kehidupan yang terus berpacu dengan perkembangan teknologi di era global, maka pustakawan harus menghadapi kenyataan tersebut. Supaya berhasil mengatasinya, pustakawan sebagai profesi harus memiliki beberapa ketrampilan, antara lain :
1. Adaptability
Pustakawan hendaknya cepat berubah menyesuaikan keadaan yang menantang. Mereka tidak selayaknya mempertahankan paradigma lama yang sudah bergeser nilainya. Pustakawan sebaiknya adaptif memanfaatkan teknologi informasi. Feret dan Marcinek (1999) menyatakan bahwa pustakawan harus berjalan seirama dengan perubahan teknologi yang terus bergerak maju dan pustakawan harus mampu beradaptasi sebagai pencari dan pemberi informasi dalam bentuk apapun. Pustakawan dalam memberikan informasi tidak lagi bersumber pada buku teks dan jurnal yang ada di rak, tetapi dengan memanfaatkan Internet untuk mendapatkan informasi yang segar bagi penggunanya. Erlendsdottir (1997) menyatakan kita bukan lagi “penjaga” buku. Kita adalah information provider di situasi yang terus berubah dan dimana kebutuhan informasi dilakukan dengan cepat dan efektif. Sekarang misi kita adalah mempromosikan jasa-jasa untuk informasi yang terus membludak. Dan bahkan jika kita tidak berubah, teknologi informasi akan mengubah tugas kita.
2. People skills (soft skills)
Pustakawan adalah mitra intelektual yang memberikan jasanya kepada pengguna. Mereka harus lihai berkomunikasi baik lisan maupun tulisan dengan penggunannya. Agar dalam berkomunikasi dapat lebih impresif dengan dasar win-win solution maka perlu people skills yang handal. Menurut Abernathy dkk.(1999) : …perkembangan teknologi akan lebih pervasive tetapi kemampuan tentang komputer saja tidaklah cukup untuk mencapai sukses. Karena itu membutuhkan people skills yang kuat yaitu :
a. pemecahan masalah (kreatifitas, pencair konflik)
5
b. Etika (diplomasi, jujur, profesional)
c. Terbuka (fleksibel, terbuka untuk wawasan bisnis, berpikir positif)
d. “Perayu” (ketrampilan komunikasi dan mendengarkan atentif)
e. Kepemimpinan (bertanggung jawab dan mempunyai kemampuan memotivasi)
f. berminat belajar (haus akan pengetahuan dan perkembangan). Hal ini didukung oleh Feret dan Marcinek (1999), yang mengatakan bahwa pustakawan masa depan harus sudah siap untuk mengikuti pembelajaran seumur hidup. Hal ini penting agar pustakawan mudah beradaptasi.
People skills ini dapat dikembangkan dengan membaca, mendengarkan kaset-kaset positif, berkenalan dengan orang positif, bergabung dengan organisasi positif lain dan kemudian diaplikasikan dalam aktivitasnya sehari-hari.
3. Berpikir positif
Didalam otak kita terdapat mesin “yes” . Ketika kita dihadapkan sesuatu pekerjaan yang cukup besar, maka umumnya kita berkata : Wah….. tidak mungkin; aduh….. sulit, dsb. Maka apa yang kita laksanakan juga tidak mungkin terjadi . Pesimistis . Dan pesimistis bukan sifat pemenang tapi pecundang. Pustakawan diharapkan menjadi orang di atas rata-rata. Sebagai pemenang yang selalu berpikiran positif, sehingga jika dihadapkan pada pekerjaan besar seharusnya berkata “yes” kami bisa. Remember, you are what you think, you feel what you want. Orang Jawa berkata mandi ucape dewe
4. Personal Added Value
Pustakawan tidak lagi lihai dalam mengatalog, mengindeks, mengadakan bahan pustaka dan pekerjaan rutin lainnya, tetapi di era global ini pustakawan harus mempunyai nilai tambahnya. Misalnya piawai sebagai navigator unggul. Dengan nilai tambah, yang berkembang dari pengalaman , training dsb, pustakawan dapat mencarikan informasi di Internet serinci mungkin. Hal ini sudah barang tentu akan memuaskan pengguna perpustakaan. Kepuasan pengguna itu sangat mahal bagi dirinya maupun bagi perpustakaan dimana ia bekerja.
5. Berwawasan Enterpreneurship
Sudah waktunya bagi pustakawan untuk berpikir kewirausahaan. Informasi adalah kekuatan. Informasi adalah mahal, maka seyogyanya pustakawan harus sudah mulai berwawasan enterpreneurship agar dalam perjalanan sejarahnya
6
nanti dapat bertahan. Lebih-lebih di era otonomi, maka perpustakaan secara perlahan harus menjadi income generation unit. Memang sudah ada pustakawan yang berwawasan bisnis, tapi masih belum semuanya. Paradigma lama bahwa Perpustakaan hanya pemberi jasa yang notabene tidak ada uang harus segera ditinggalkan.
6. Team Work - Sinergi
Di dalam era global yang ditandai dengan ampuhnya Internet dan membludaknya informasi, pustakawan seharusnya tidak lagi bekerja sendiri. Mereka harus membentuk team kerja untuk bekerjasama mengelola informasi. Choo yang dikutip Astroza dan Sequeira (2000) mengatakan bahwa perubahan teknologi menawarkan kesempatan unik untuk bekerjasama lintas disiplin dengan profesional lainnya :
- pakar komputer yang bertanggung jawab pada pusat komputer
- pakar teknologi yang bertanggung jawab pada infrastruktur teknologi, jaringan dan aplikasi
- pakar informasi (pustakawan) yang mempunyai kemampuan dan pengalaman untuk mengorganisasi pengetahuan dalam sistem dan struktur yang memfalisitasi penggunaan sumber informasi dan pengetahuan.
Diharapkan dengan team work, tekanan di era industri informasi dapat dipecahkan. Menurut Astroza dan Sequeira (2000) perubahan teknologi dan perkembangan industri informasi berdampak luas pada profesional informasi : pustakawan, arsiparis, penerbit. Profesi ini menghadapi 2 tekanan komplementer, yaitu :
1. perkembangan jumlah informasi dan tersedianya teknologi baru, memungkinkan untuk akses dan memproses informasi lebih besar dari lima tahun yang lalu.
2. harapan pengguna yang terus meningkat dapat menciptakan kebutuhan jasa informasi yang kualitasnya lebih canggih.
Dengan enam ketrampilan di atas diharapkan pustakawan akan terus berkembang menjalankan tugasnya seiring dengan perubahan jaman yang begitu cepat. Profesionalisme pustakawan akan lebih mendarah daging dan menjiwai setiap aktivitasnya.
7
BAGAIMANA IPI ?
Bagaimana dengan Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI yang harus dibaca i_pé_i) yang telah berusia 28 tahun ini. Dari segi umur merupakan masa yang cukup kokoh, tangguh dan perkasa. Suatu periode yang mampu menghadapi perubahan tentunya.
Untuk itulah maka IPI harus :
1. Mampu merespons arus kesejagadan (globalisasi) yang disamping menyodorkan kesempatan dan tantangan tapi juga memberi ancaman. Dengan enam ketrampilan di atas diharapkan IPI sebagai wadah pustakawan dapat terus berkembang sesuai dengan programnya.
2. Mampu menunjang kelancaran otonomi daerah.
Otonomi daerah pada hakekatnya adalah kemandirian dalam penyelenggaraan pemerintahan, proses pembangunan, pemberdayaan masyarakat yang memerlukan pengelolaan (manajerial) yang professional, benar dan baik untuk mewujudkan good governance dan clean governance (Chajaridipura, 2001). Ada satu kunci yang perlu dicermati, yaitu pemberdayaan masyarakat. Karena masyarakat Indonesia 65% berada di desa, maka IPI harus mampu memberdayakan, dalam arti membuat masyarakat mampu bersaing di era global yang penuh persaingan ini. Untuk itu IPI harus mulai menggarap pustakawan – pustakawan desa agar mereka handal dan tangguh melalui training atau pelatihan- pelatihan yang efektif serta aplikatif.
3. Dalam setiap kegiatan hendaknya IPI bersinergi dengan asosiasi atau institusi lain, misalnya FPPTI, FKP2T dsb, agar gregetnya terasa lebih menggigit.
4. IPI hendaknya lebih extrovert. Tak kenal maka tak sayang itulah pepatah yang harus menjiwai di tubuh IPI. Dari dulu penulis mengingnginkan IPI lebih ada keberadaannya. Kegiatan profesional suatu saat tertentu ditinggalkan sebentar untuk kegiatan global dan isidental, misalnya : ikut serta pelaksanaan bersih kota, mengentas kemiskinan dsb. Karena dengan membaurnya IPI dengan masyarakat luas maka masyarakat semakin dekat dengan IPI. Dan IPIpun akan dikenal dan disayang.
8
PENUTUP
Era global dan era Internet telah menantang profesionalisme pustakawan. Tantangan tersebut bukanlah hal yang menakutkan, tetapi justru menjadi peluang emas bagi pustakawan untuk bergerak maju meretas batas. Dengan enam ketrampilan di atas diharapkan pustakawan demikian juga wadahnya IPI, akan lebih exist dan berjuang sesuai dengan program kerjanya. Dan terus mendukung program pemerintah yang tertuang dalam TAP MPR-RI No. XV/MPR/1998, tanggal 13 November 1998 tentang : Penyelenggaraan Otonomi Daerah, pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional, yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Semoga.
9
DAFTAR PUSTAKA
- Abidin, Mas’oed (1999). Dampak globalisasi memasuki millennium ketiga.
(http ://www.geocities.com/Tokyo/Ginza/8700/dampak.html )
- Abernathy et.al (1999). Test your 2000 + People Skills. (http://proquest.umi.com/ pqdweb? TS . Restricted search)
- Astroza, M. T dan Sequeira,D (2000). Challenges in training new health information professionals in Latin America. (http://www.icml.org/wednesday/choice/ astroza/final.htm)
- Chajaridipura (2000). Binatang apakah Otonomi Daerah itu ? Manajemen. Mei.
- Erlendsdottir, L (1997). New technology, new librarians ?.
(http:www.ukoln.ac.uk/services/papers/bl/ans-1997/erlendsdottir).
- Feret, B dan Marcinek, M (1999). The future of the academic library and the academic librarian – a Delphi Study. (http://educate.lib.chalmers.se/IA …roceedcontents/ chanpap/feret.html).
- Kurnia, K (….), Manfaat Internet. Kompas Cyber Media (http://www.kompas. com/kcm/kafi/ kf11.htm)
- Mahayana, D (1995). Menjemput masa depan (http://www15.brinkster.com/stress95/ articles.htm).
- Muis, A (2000). Indonesia di era dunia maya. Bandung : Remaja Rosdakarya.
- Suyono (1999), Masa depan pendidikan dan pendidikan masa depan. Suara Pemba-haruan Daily. (http://www.suarapembaruan.com/News/1999/01/300199/OpEd /op01/op01.htmlT)
- Sadaruwan, A (2001). Kawin Internet Pemuda Bosnia-Cewek Kediri .Jawa Pos. 5 Ok-tober.
- Wirawan (1993). Profesi kepustakawanan : suatu analisa. Makalah disampaikan pa-da

•01.21
Harian New York Times mencatat tentang munculnya sebuah ‘varietas’ baru pustakawan/wati lewat artikel berjudul “A Hipper Crowd of Shushers“. Varietas baru pustakawan ini digambarkan lebih mirip orang-orang kreatif; sutradara film, desainer web, seniman, daripada imaji yang muncul tentang pustakawan selama ini. Membosankan, tua, galak, dst. Setidaknya varietas pustakawan itulah yang sering aku temui di masa-masa sekolahku, hehe.

Lewat artikel di atas, harian New York Times mencoba mencari tahu, kenapa sih kok muncul generasi pustakawan yang tampilan dan gayanya lebih hip dan cool daripada pendahulu-pendahulunya. Bukan sekedar tampilan baju atau rambut yang dicat pink, tapi generasi ini berisi orang-orang yang punya ketertarikan pada budaya pop, aktivisme dan teknologi.



Salah satu alasan ‘kemunculan’ mereka:
How did such a nerdy profession become cool — aside from the fact that a certain amount of nerdiness is now cool? Many young librarians and library professors said that the work is no longer just about books but also about organizing and connecting people with information, including music and movies. And though many librarians say that they, like nurses or priests, are called to the profession, they also say the job is stable, intellectually stimulating and can have reasonable hours — perfect for creative types who want to pursue their passions outside of work and don’t want to finance their pursuits by waiting tables.

Hmmm…artikel ini benar-benar membuat profesi pustakawan terdengar sangat cool. Aku memikirkan berganti pekerjaan deh.

Oke, oke, mungkin ada yang menanggapi, ini kan di Amerika, di Indonesia profesi pustakawan ya masih begitu-begitu saja, dst, dst. Ah, aku rasa enggak juga ya. Library@Senayan contohnya, perpustakaan hibah British Council yang sekarang di gedung Depdiknas itu. Wien Muldian, pustakawannya, aku rasa bisa dimasukkan dalam kategori varietas baru pustakawan ini.

Mungkin gaya berpakaiannya belum se-hip para pustakawan di foto-fotonya New York Times itu, hehe, tapiii caranya dia menghidupkan Perpus Diknas dengan mengadakan berbagai acara di sana. Dengan menjadikan perpustakaan lebih dari sekedar sebuah bangunan atau ruang yang menampung buku tapi juga dengan memberi ruh pada tempat itu, itu kan sama dengan mengorganisir dan menghubungkan orang dengan informasi, yang disebut di atas. Iya nggak?

Kalau nggak percaya, coba aja ke Perpus Diknas dan rasakan betapa ‘hidupnya’ tempat itu.

So, memilih jadi pustakawan untuk profesi masa depan, siapa takut?

•01.00
Oleh : Porwanto12-Feb-2009, 16:10:23 WIB – [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Beberapa elemen masyarakat memadati ruang kraton Perpustakaan Nasional RI di Jakarta, Kamis (12/2). Mulai dari kepala perpustakaan nasional RI yang datang terlambat, juga personil di bawahnya, tenaga pengajar departemen perpustakaan dan informasi UI, hingga aktivis LSM, dan beberapa asosiasi kepustakawanan dan taman bacaan.

Acara bertajuk Seminar Kepustakawanan Indonesia: siapa pemimpin perpustakaan nasinal mendatang ini, menghadirkan beberapa pembicara. Diantaranya Ridwan Siregar, Kepala Perpustakaan USU Medan dan Binny Buchori caleg Golkar dapil Yogyakarta yang juga pernah mengajar di Jurusan Ilmu Perpustakaan UI, kini menjadi ketua organisasi forum LSM (INFID), Binny Buchori, dengan moderator Agus, staf pengajar Ilmu Perpustakaan Fakultas Komunikasi Unpad Bandung.



Soal isu kepemimpinan yang mengemuka, selain memiliki kopentensi teknis juga punya kemampuan menjalin relasi yang luas di tingkat nasional. Relasi dimaksud, sebab untuk mengimplementasikan sebuah kebijakan hingga ke tingkat daerah, termasuk pendanaan dari APBN dan APBD untuk perpustakaan, perlu kemampuan lobi sang pemimpin.
Selain isu kepemimpinan, persoalan di akar rumput juga mengemuka. Sebut saja, soal sumbangan buku-buku yang didapat oleh perpustakaan dan taman bacaan di Sulawesi Selatan tidak tepat sasaran. “Seharusnya

pihak perpustakaan nasional RI mengetahui terlebih dahulu kebutuhan di daerah agar tidak mubazir,” ujar Ridwan, ketua umum jaringan taman bacaan Sulawesi Selatan.

Frans Farera, pegiat penerbitan di Jakarta mengungkap buku-buku yang terbitkan di Indonesia menyusut, dari 11.000 per tahun menjadi 7.000 buku saja pada tahun 2008. Fungsi perpustakaan sebagai deposit koleksi terbitan Indonesia, jumlah koleksinya tidak sebanding dengan jumlah terbitan yang ada. Sedangkan, Library of Congress milik AS memiliki hampir semua koleksi terbitan Indonesia, hingga terbitan lembaga-lembaga di pelosok daerah tanah air ini.

Sementara, Kepala Perpustakaan Nasional RI, Daddy P. Rachmananta, yang hadir di saat acara akan selesai, mengatakan pihaknya sedang mengajukan dana untuk pembangunan gedung. Gedung tersebut rencananya akan di bangun sekitar 23 lantai di jalan Merdeka Selatan Jakarta. Persoalannya, bagaimana dengan pembangunan perpustakaan-perpustakaan yang ada di daerah-daerah?
Menjelang sesi acara selesai, beberapa peserta menyela untuk angkat bicara. Ingatan pun dikemukakan kembali. Siapapun pemimpin yang akan dipilih haruslah orang yang mengerti perpustakaan. Hal tersebut sesuai dengan amanah pasal 30 Undang-undang No. 43/2007 tentang Perpustakaan. Hanya saja perangkat hukum sebagai juklak/juknis, semisal peraturan pemerintah. Namun, soal apakah harus PNS atau tidak masih menjadi perdebatan. Anda PNS, ingin jadi Kepala Perpustakaan Nasional RI?

sumber;

Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini…!!! Kunjungi segera:
www.kabarindonesia.com

•00.52
Program Sertifikasi Guru Telah Dilaksanakan, Mungkinkan Akan Ada Program Sertifikasi Pustakawan?


PENGERTIAN, TUJUAN, MANFAAT, DAN DASAR HUKUM PELAKSANAAN SERTIFIKASI GURU

1. Apa yang dimaksud dengan sertifikasi guru? Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesional guru. Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas.

2. Apa yang dimaksud dengan sertifikat pendidik? Sertifikat pendidik adalah sebuah sertifikat yang ditandatangani oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi sebagai bukti formal pengakuan profesionalitas guru yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional.


3. Mengapa disebut sertifikat pendidik bukan sertifikat guru? Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen disebut sertifikat pendidik. Pendidik yang dimaksud disini adalah guru dan dosen. Proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru disebut sertifikasi guru, dan untuk dosen disebut sertifikasi dosen.

4. Apa tujuan dan manfaat sertifikasi guru? Sertifikasi guru bertujuan untuk:

a. menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional

b. meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan

c. meningkatkan martabat guru

d. meningkatkan profesionalitas guru



Adapun manfaat sertifikasi guru dapat dirinci sebagai berikut.

a. Melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten, yang dapat

b. merusak citra profesi guru.

c. Melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan

d. tidak profesional.

e. Meningkatkan kesejahteraan guru

5. Mengapa sertifikasi guru dilakukan? Guru merupakan sebuah profesi seperti profesi lain: dokter, akuntan, pengacara, sehingga proses pembuktian profesionalitas perlu dilakukan. Seseorang yang akan menjadi akuntan harus mengikuti pendidikan profesi akuntan terlebih dahulu. Begitu pula untuk profesi lainnya termasuk profesi guru.

6. Apa dasar pelaksanaan sertifikasi? Dasar utama pelaksanaan sertifikasi adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang disahkan tanggal 30 Desember 2005. Pasal yang menyatakannya adalah Pasal 8: guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal lainnya adalah Pasal 11, ayat (1) menyebutkan bahwa sertifikat pendidik sebagaimana dalam pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Landasan hukum lainnya adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional N omor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan yang ditetapkan pada tanggal 4 Mei 2007.

7. Apa sertifikasi guru menjamin peningkatan kualitas guru? Sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua fihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk meningkatkan kualifikasinya, maka belajar kembali ini bertujuan untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1. Ijazah S-1 bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru. Demikian pula kalau guru mengikuti sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standar kompetensi guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka guru tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi sertifikasi. Berdasarkan hal tersebut, maka sertifikasi akan membawa dampak positif, yaitu meningkatnya kualitas guru.

8. Apakah program sertifikasi guru ini akan berlanjut terus? Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 14/2005, sertifikasi guru akan terus dilaksanakan sampai Undang-Undang tidak mengamanatkan pelaksanaan sertifikasi guru.

Mungkinkah akan ada sertifikasi Pustakawan? Silahkan direnungkan dan kalau ada pemikiran atau komentar silahkan, saya tunggu partisipasinya.

Sumber; http://sertifikasiguru.org/uploads/File/panduan/faq01.pdf

•00.21
Oleh HER SUGANDA

Ibarat batu karang, Djudju Djunaedi atau Mbah Udju, selama 20 tahun lebih tak pernah surut dari mimpinya. Setiap hari sepulang bekerja di Perkebunan Karet Gunung Hejo, PT Perkebunan Nusantara VIII, ia berkeliling kampung-kampung di Kecamatan Darangdan, Purwakarta, dengan berjalan kaki. Dengan sabar ia menyambangi penduduk desa, menawarkan jasa meminjamkan buku dan majalah dari rumah ke rumah.

Hasilnya? Ada orang yang mau membaca buku dan majalah yang dibawanya saja sudah untung. Namun, sebagian besar orang desa yang didatangi malah menolak tawarannya dengan berbagai alasan.

”Kayak orang gedean saja membaca buku dan majalah,” ia menirukan salah satu alasan warga.

Bagi mereka membaca bukan kebutuhan. Membaca buku atau majalah dianggap kemewahan, hanya menjadi milik orang kaya di perkotaan. Padahal, Mbah Udju tak menentukan tarif untuk buku dan majalah yang dipinjamkan.

”Asal orang mau membaca saja saya sudah senang,” katanya.

Walau hanya mengenyam pendidikan formal di sekolah rakyat (kini sekolah dasar) dan bekerja sebagai karyawan rendahan, ayah dua anak ini memulai kegiatan dengan meminjamkan buku dan majalah yang sudah dibaca anak sulungnya, Edi Rohman. Sejak umur empat tahun, Edi gila membaca.

”Kalau saya pulang dari mana-mana, yang ditanyakan bukan ole-ole, tetapi buku,” katanya.

Buku dan majalah mula-mula dipinjamkan kepada anak-anak yang ayahnya bekerja sebagai karyawan di lingkungan perkebunan. Mereka diajari membaca oleh istrinya, Heni Saeni. Dua tahun kemudian ia meluaskan wilayah kegiatan ke lingkungan penduduk lain yang masih sekampung.

Desa Gunung Hejo, tempat keluarga ini tinggal, terdiri atas 17 rukun tetangga. Dengan sabar dan tak kenal lelah, selama dua tahun, satu per satu penduduk didatangi. Mimpinya menjadi pustakawan kampung mengalahkan rasa lelah. Dengan menyelendang kantong besar berisi majalah dan buku, ia mendatangi warga Desa Darangdan, tetangga Desa Gunung Hejo.

Desa itu sebenarnya pusat kecamatan. Namun, tak mudah mengubah sikap penduduknya. Selama dua minggu ia mendatangi warga desa, tak seorang pun yang mau meminjam buku dan majalah.

Bahkan, di Desa Sawit, tetangga Desa Darangdan, selama dua bulan Mbah Udju menyambangi warga, juga tak seorang pun yang mau meminjam buku dan majalah. ”Tapi, saya tidak pernah putus asa,” ujarnya.

Tak kenal lelah

Macam-macam cara ditempuh Mbah Udju agar warga desa di sekitar tempat tinggalnya punya minat baca. Ia pernah memberikan majalah, malah diacak-acak, diguntingi untuk kliping salah seorang murid SMP.

”Walau sebelumnya saya sering datang ke desanya, anak itu tidak pernah meminjam buku atau majalah,” katanya.

Untuk majalah yang ”dirusak” itu pun Mbah Udju tak meminta ganti rugi sepeser pun. Sebagai imbalan, ia hanya mengajukan syarat agar anak itu datang lagi dengan membawa teman-teman.

Kiat lainnya dilakukan dengan kerja sama mahasiswa beberapa universitas di Bandung yang sedang melaksanakan kuliah kerja nyata dan praktik kerja lapangan di desanya. Lewat lomba membaca, kegiatan itu diharapkan bisa menumbuhkan minat baca pada anak-anak.

”Hadiahnya seadanya, disediakan secara patungan oleh para mahasiswa,” katanya.

Kecamatan Darangdan terdiri atas 17 desa, tetapi hanya delapan desa yang menjadi daerah operasinya. Desa-desa itu dikunjungi secara rutin. Letak antara satu desa dan desa lain berjauhan. Tak jarang ia harus melewati daerah-daerah sepi yang merupakan perkebunan teh rakyat. Kecamatan Darangdan merupakan salah satu pusat perkebunan teh rakyat. Setiap hari ia menempuh jarak puluhan kilometer dengan berjalan kaki.

Pengalamannya yang tak terlupakan terjadi pada akhir 1996. Pulang dari Desa Nangewer, hujan turun rintik-rintik. Mbah Udju bergegas karena hari sudah senja. Buku dan majalah disimpan dalam buntelan kain, kemudian diselendangkan di bahunya. Tanpa rasa takut, ia berjalan seorang diri melewati tempat sunyi dan jauh dari perkampungan penduduk. Tiba-tiba dari arah belakang muncul sepeda motor yang dikendarai tiga orang berbadan tegap.

Salah seorang di antaranya turun lalu menodongkan senjata tajam. Bungkusannya direbut dan uang Rp 6.500 dirampas. Namun, setelah beberapa ratus meter, bungkusan buku dan majalah itu dilemparkan. Isinya berserakan. Mbah Udju sedih. Mungkin bungkusan itu mereka kira berisi kain atau bahan pakaian yang biasa dijajakan ke kampung-kampung.

Sejak itu Mbah Udju memutuskan, dua desa dia lepaskan.

Hasil sumbangan

Bekerja sampai menjelang malam dan pulang dengan keringat bercucuran, penghasilannya setiap hari Rp 8.000, paling banyak Rp 15.000.

”Kadang-kadang hanya Rp 3.000,” kata istrinya, Heni Saeni.

Pendapatannya yang tak seberapa itu jauh dari memenuhi kebutuhan. Apalagi, anak bungsunya masih kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung. Maka, ketika ada wartawan setempat seusai mewawancara meminta biaya publikasi sebesar Rp 300.000, Mbah Udju menjawab, ”Uang pensiun saya dalam sebulan saja tak sebesar itu.”

Sejak tahun 2006 Mbah Udju menjalani pensiun. Setiap bulan ia menerima Rp 232.000. ”Hanya cukup untuk beli beras dan bayar listrik,” istrinya menimpali.

Hidup sederhana, tetapi tetap memiliki optimisme menumbuhkan minat baca penduduk desa, sejak 1992 perpustakaannya dinamakan Perpustakaan Saba Desa yang artinya keliling desa. Bangunannya menempati salah satu ruangan rumahnya yang hanya bisa dicapai dengan berjalan setapak di Kampung Ngenol RT 10 RW 3. Di tempat ini buku dan majalah tersimpan rapi dalam rak. Sebagian buku dan majalah masih ditumpuk begitu saja.

Ratusan buku dan majalah itu adalah sumbangan penerbit dan masyarakat setelah mereka membaca permohonan Mbah Udju yang disampaikan lewat surat pembaca. Salah seorang di antaranya, Ny Made Hidayat dari Jakarta, menjadi penyumbang setia sejak 1992.

Mbah Udju mengirimkan surat-surat itu dengan tulisan tangan. ”Boro-boro dengan komputer, mesin ketik saja tak ada,” katanya.

(HER SUGANDA Pengurus Forum Wartawan dan Penulis Jawa Barat)


Sumber : Kompas Cetak
•00.12
Pada era globalisasi ini, pustakawan dituntut tidak hanya trampil mengurusi buku namun juga dituntut bisa menguasai Teknologi Informasi (TI). Dengan menguasai TI, tentu saja pustakawan juga menguasai penelusuran Literasi Informasi. Dengan ketrampilan yang dimiliki pustakawan akan bisa membimbing dan mengajari mahasiswa untuk menemukan sumber-sumber informasi yang dibutuhkan.

Apa itu Literasi Informasi?:

Menurut APISI:

“Literasi informasi adalah seperangkat ketrampilan untuk mendapatkan jalan keluar dari suatu masalah yang ada. Ketrampilan ini mencakup ketrampilan mengidentifikasi masalah, mencari informasi, menyortir, menyusun, memanfaatkan, mengkomunikasikan dan mengevaluasi hasil jawaban dari pertanyaan atau masalah yang dihadapi tadi”.1

Sedangkan menurut CILIP:

“Information literacy is knowing when and why you need information, where to find it, and how to evaluate, use and communicate it in an ethical manner.”1)

Dengan menguasai Literasi Informasi, ketrampilan pustakawan akan berkembang sehingga diharapkan bisa:

1.Mengembangkan minat, keterampilan, dan kepercayaan diri dalam menulis mengenai pekerjaan dan pengetahuan di bidang kepustakawanan dan informasi

2. Menghasilkan karya tulis dalam berbagai bentuk, terutama yang dapat meningkatkan pula profesionalisme pustakawan.

3. Mengidentifikasi dan mengumpulkan tulisan yang dapat dikembangkan lebih lanjut dan disebarluaskan melalui berbagai media (blog, majalah internal, jurnal, dan sebagainya


Dengan menguasai hal-hal tersebut di atas, pustakawan bukan lagi semata-mata hanya mengurusi buku atau jenis media informasi lain, melainkan mereka mengemban tugas untuk mengelola informasi yang ada didalam perpustakaan dimana dia bekerja, dalam berbagai bentuk yang ada, untukkebutuhan penggunanya. Literasi informasi adalah seperangkat ketrampilan untuk mendapatkan jalan keluar dari suatu masalah yang ada. Ketrampilan ini mencakup ketrampilan mengidentifikasi masalah, mencari informasi, menyortir, menyusun, memanfaatkan, mengkomunikasikan dan mengevaluasi hasil jawaban dari pertanyaan atau masalah yang dihadapi tadi.

Untuk menjawab tantangan ini, pada tanggal 23 Juli sampai dengan 25 Juli 2007 Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia bekerjasama dengan Universitas Kristen Dutawacana (UKDW) mengadakan Pelatihan Literasi Informasi, yang diikuti oleh pustakawan dari berbagai perguruan tinggi di DIY.

Referensi:

APISI:http:// www.apisionline.blogspot.com
•00.11
JAKARTA--MIOL: Kesan negatif bahwa lulusan ilmu perpustakaan tidak bonafid ternyata keliru sekali. Justru profesi ini prestisius dan menjanjikan. Betapa tidak, 7.000 sekolah membutuhkannya. Prof Dr Sulistyo Basuki dari Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (UI), mengatakan juru kepustakaan itu mempunyai prospek masa depan yang cerah.

Sumber: Media Indonesdia Online
Lengkap: http://www.mediaindonesia.com